Halaman

Selasa, 28 September 2010

Menimbang Arti Keshalehan Menurut Islam

Akhir-akhir ini sering kita mendengar dari kalangan kaum Muslim, sementara orang yang mempersoalkan secara dikotomis tentang kesalehan. Seolah-olah dalam Islam memang ada dua macam kesalehan: “kesalehan ritual” dan “kesalehan sosial”.

Dengan “kesalehan ritual” mereka menunjuk perilaku kelompok orang yang hanya mementingkan ibadat mahdlah, ibadat yang semata-mata berhubungan dengan Tuhan untuk kepentingan sendiri. Kelompok yang sangat tekun melakukan sholat, puasa, dan seterusnya; namun tidak peduli akan keadaan sekelilingnya. Dengan ungkapan lain, hanya mementingkan hablum minallah.

Sedangkan yang mereka maksud dengan “kesalehan sosial” adalah perilaku orang-orang yang sangat peduli dengan nilai-nilai Islami, yang bersifat sosial. Suka memikirkan dan santun kepada orang lain, suka menolong, dan seterusnya; meskipun orang-orang ini tidak setekun kelompok pertama dalam melakukan ibadat seperti sembayang dan sebagainya itu. Lebih mementingkan hablun minan naas.

Boleh jadi hal itu memang bermula dari fenomena kehidupan beragama kaum Muslim itu sendiri, dimana memang sering kita jumpai sekelompok orang yang tekun beribadat, bahkan berkali-kali haji misalnya, namun kelihatan sangat bebal terhadap kepentingan masyarakat umum, tak tergerak melihat saudara-saudaranya yang lemah tertindas, misalnya. Seolah-olah Islam hanya mengajarkan orang untuk melakukan hal-hal yang dianggapnya menjadi hak Allah belaka. Sebaliknya juga, sering dijumpai orang-orang Islam yang sangat concern terhadap masalah-masalah ummat, sangat memperhatikan hak sesamanya, kelihatan begitu mengabaikan “ibadat pribadinya”.

Padahal semuanya tahu tentang hablun minallah dan hablun minannas. Semuanya membaca ayat, “Udkhuluu fis silmi kaffah !” tahu bahwa kesalehan dalam Islam secara total !” Masak mereka ini tidak tahu bahwa kesalehan Islam pun mesti komplit, meliputi kedua kesalehan itu.

Dan bagi mereka yang memperhatikan bagaimana Nabi Muhammad saw. Berpuasa,dan saat beliau memberi petunjuk bagaimana seharusnya orang melaksanakan puasa yang baik, niscaya tak akan ragu-ragu lagi akan ajaran yang memperlihatkan kedua aspek tersebut sekaligus. Dengan kata lain, takwa yang menjadi sasaran puasa kaum Muslim, sebenarnya berarti kesalehan total yang mencakup “kesalehan ritual” dan “kesalehan sosial”. Kecenderungan perhatian sesorang terhadap salah satunya, tidak boleh mengabaikan orang lain.

* KH Mustofa Bisri (Gus Mus) adalah Pengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin dan salah satu Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)

Pesantren Dulu, Kini Dan Nanti

Ada hal penting yang perlu dikaji secara serius dari acara Silaturahmi Alim Ulama di Pondok Pesantren Edi Mancoro, Semarang, 11 Pebruari 2007 lalu. Yang terdengar dalam lesehan para ulama itu hanya sebatas saling tuding dan menyalahkan antara satu dengan yang lainnya. Menteri Agama Maftuh Basyuni, Gus Mus dan Habib Lutfi, juga yang lainnya hanya saling menjual gengsi masing-masing. Tidak ada yang memberi jawaban apa yang menjadi penyebab tidak maju dan bermutunya banyak pesantren akhir-akhir ini? Berikut adalah wacana yang dapat kami potret dari perjalanan pendidikan kami.

Kalau kita mau jujur dengan fakta yang ada di lapangan memang sistim dan mutu pendidikan di Pesantren-pesantren telah mengalami kemunduran yang drastis bila dibandingkan dengan pesantren tempo dulu. Kami yakin faktor internal sebagai penyebab utamanya.

Pesantren tempo dulu

Barangkali yang menjadi ciri khas posisi pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam sekaligus sebagai benteng aqidah masyarakat dan diakui oleh sejarah kesuksesannya adalah keikhlasan kyai, ketekunan para santri dalam belajar dan riyadoh lahir dan batin, jauh dari persoalan subhat apalagi haram. Sementara yang lainnya mungkin tetap sama.

Keikhlasan kyai dalam mengajar dan membina santri tidak pernah dan tidak akan terbayarkan dengan harapan nilai materi dan duniawi. Keikhlasan yang total menjalankan perintah Allah mengajar dan mengajak masyarakat kepada Islam. Keikhlasan yang tak pernah terpotretkan dengan kepopuleran, mereka lebih memilih diam dalam surau dan kezuhudan yang sepi dan senyap dari gejolak politik dan gemerlap sosial dan duniawi yang kadang bisa merusak keikhlasan dan mengantarkan kepada riya dan sum’ah (kepopuleran). Walaupun sistim pengajian ala kadarnya, mengajar sambil mengantuk sehingga kitab setebal “alaihim” bisa hatam dalam waktu satu bulan, luar biasa itu. Tapi anehnya menjadi alim dan saleh seperti gurunya, mberkahi betul. Bandingkan dengan sekarang.

Dengan keikhlasannya pula beliau-beliau tidak pernah berpikir tentang gedung, sarana dan prasarana, SPP atau yang lainnya yang ada dalam hatinya bagaimana santrinya mau dan bisa belajar dengan baik sekalipun di atas bancik, hal itu tidak membuatnya malu atau gengsi, apalagi berpikir untuk membuat proposal seperti kyai zaman sekarang.

Keikhlasan, kealiman, istiqomah dan tawadu’ (rendah diri) dan ketelatenan sang kyai adalah modal utama yang dapat memproduk santri yang allamah dan berakhlak mulia sekaligus sebagai bendera kesuksesan pesantren dalam mencetak ulama, zu’ama dan fuqoha. Di samping itu ketekunan santri dalam belajar, menjauhi maksiat dan meninggalkan segala larangan dan kewira’ian orang tua dalam memberi nafkah kepada anaknya sangat dijunjung.

Dengan bermodalkan itu semua rata-rata santri dulu dari satu pesantren pulang ke kampung halaman langsung menjadi kyai atau minimal jadi ustad yang mumpuni dan diakui masyarakat, tanpa mengikuti pendidikan selanjutnya.

Sayangnya pesantren yang seperti itu (salaf produktif) kini jumlahnya sangat terbatas atau hanya sekitar 10% dari total 14.798 pesantren dengan jumlah santri 2.057-814 sesuai data departemen kesehatan ketika membagikan bantuan dana kesehatan Pondok pesantren pada tahun 2006. (NU.Online tanggal 8 september 2006). Lalu sisanya menurut hemat kami hampir berubah menjadi “rumah kos” santri yang diberi pengajian setelah cape belajar Matematika, IPA, IPS dan PPKN yang hukumnya berubah menjadi “fardu ‘ain” setelah sebelumnya “haram” hukumnya. Tapi kalau prakteknya sebaliknya mungkin lebih baik. Dan tradisi itu telah “dihalalkan” oleh kebanyakan kyai dengan dalih tuntutan zaman dan modernisasi pendidikan dan yang lebih parah lagi karena tuntutan untuk melanjutkan ke luar negeri? Terlalu rendah visi lembaga itu.

Di antara pesantren salaf yang masih mampu dan bertahan memegang peran para pendahulunya adalah Pesantren Lirboyo dan Ploso Kediri jawa Timur keduanya masih tetap diakui masyarakat sebagai lembaga yang berhasil mencetak ulama, fuqoha yang siap terjun ke masyarakat tanpa mengikuti pendidikan selanjutnya di luar Pesantren, berbeda dengan yang lain?

Pesantren sekarang

Tidak bisa dipungkiri akan posisi dan peran pesantren dalam membangun dan mengisi pembangunan Indonesia sampai detik ini dan murtadlah orang yang mengingkari kenyataan itu. Karena sejak dulu Kyai Pesantren, Ulama dan para santri juga kaum tarekat adalah ujung tombak dalam merebut dan mengisi kemerdekaan dari tangan penjajah. Seperti peran Kyai Soleh Darat melawan Belanda, Pemberontakan Tarekat Sadziliyah di Banten pada tahun 1888M yang dikenal dengan revolusi Petani dan para pendiri NU hampir semuannya terlibat dalam perang merebut dan mengisi kemerdekaan. Dan secara de facto bahwa Pesantren saat inilah adalah benteng moral dan aqidah masyarakat yang tak bisa tergantikan. Tapi sekarang semua pesantren kelihatannya tidak lagi mampu memberikan banyak harapan masyarakat dan orang tua dan wali santri, karena banyak pesantren yang sudah berubah menjadi lembaga pendidikan formal/negeri dan mengesampingkan formalitas pesantren yang sesungguhnya.

Ada beberapa hal yang menyebabkan menurunnya mutu Pesantren dan ada beberapa wacana dan indikasi yang kelihatannya sangat mendorong banyak Kyai melakukan reformasi pendidikan Pesantren dari salaf/tradisional ke semi modern atau modern yang terkadang kebablasan sehingga mengakibatkan tidak jelasnya sistim pendidikannya, ala kadarnya:

Pertama, wacana formalisasi Ijazah pesantren dengan dalih kondisi dan tuntutan zaman yang mengahruskan ijazah negeri bagi setiap sektor kemasyarakatan dan kenegaraan. Hal inilah yang kemudian mendorong para kyai rameh-rameh “gagah-gagahan” bangunan dan sistim pendidikan formal dengan segala formalitasnya untuk menarik santri baru yang terkadang menjerumuskannya kepada hal yang menghilangkan kewira’ian yang pernah dipegang teguh para pendahulunya. Hingga sampailah kepada lobi-lobi proposal dana bangunan yang sering terkesan monopoli dan dimenangkan oleh satu yayasan karena kuatnya lobi.

Kedua, banyak pesantren yang misi utamanya hanya memberikan kesempatan kepada lulusannya untuk bisa masuk ke perguruan tinggi negeri di dalam dan luar negeri. Ini jelas merupakan “pembodohan” masyarakat yang sistimatis. Karena itu satu bukti bahwa lembaga itu tidak mampu mendidik santrinya menjadi lulusan yang berkualitas. Pesantren model inilah yang sekarang laris manis.

Ketiga, perbedaan kekyaian yang dimiliki Kyai sekarang sangat jauh berbeda dengan kyai pesantren tempo dulu. Kalau dulu Kyai seneng puasa, riyadloh dan tirakat untuk diri dan santrinya, kini sifat-sifat tulus dan karomah seperti itu sangat jarang kita temukan. Justru yang menjadi wacana adalah kampanye partai, calon gubernur, bupati dan caleg serta perseteruan dan perebutan posisi di dalam dan luar Pesantren. Ini jelas-jelas merusak nilai lahir dan batin Pesantren yang mengakibatkan tidak “mberkahinya” kyai kepada santri. Walaupun itu adalah buah perputaran waktu tapi semuanya tetap memberikan dampak negative bagi pribadi dan Pesantren dalam penilaian masyarakat yang harus kita jaga.

Bahkan sekarang banyak kyai yang lupa dengan jadwal pengajiannya karena sibuk mengikuti kampanye, orasi caleg dan undangan pengajian. Sementara santri tetap setia di tempat belajarnya tanpa ada yang mulang (ngajar). Keterlibatan Kyai dalam gerakan politik dan sejenisnya telah mengahancurkan nilai, mutu dan citra pesantren. Itulah realitas banyak Pesantren saat ini berubah menjadi kos-kosan santri, bukan pondok ngaji. Bahkan ada seorang pengasuh Pesantren yang selalu “ngelencer” keluar negeri, tidak pernah mulang santrinya. Lho ko seperti tidak terima dikatakan Pesantrenya tidak bermutu, bagaimana bisa melahirkan ulama, kyai atau ustad yang mumpuni? Tapi ia bangga merasa menjadi Kiayi yang paling sibuk.

Pesantren model seperti ini banyak sekali bahkan hampir semuanya terutama Pesantren Kecil diantaranya yang paling parah mengalami perubahan seribu derajat adalah Pesantren Bahrul Ulum dan Darul Ulum Jombang Jawa Timur dan yang lainnya termasuk Tebuireng. Keduanya dalam masa pendirinya termasuk Pesantren yang berhasil mencetak ulama dan fuqoha Nasional, tapi kini tidak lagi. Karena kemunduran dan perubahan status bukan? Disamping peran Kyai yang “kurang telaten” ngopeni santri karena sibuk diluar sehingga tidak melahirkan karomah.

Belajar lagi

Benar pesantren adalah model pendidikan tertua di Indonesia bahkan di dunia. Tapi dalam ajaran ahlak pesantren diajarkan bahwa orang yang tua pun kalau tidak bisa harus belajar dari yang bisa walaupun dari yang lebih muda usianya. Untuk itulah ketertinggalan sistim pendidikan dan menejemen pesantren saat ini oleh lembaga lainnya perlu segera kita benahi dengan cara ikuti “ngesahi” dari pendidikan lainnya. Kalau ada yang mengatakan bahwa Pesantren saat ini tidak perlu belajar dari Muhammadiyah (seperti yang dikatakan oleh Menteri Agama) atau lainnya adalah merupakan sikap “takabbur” yang jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai Pesantren dan sikap seperti itu jelas merupakan satu bukti “kemunduran” kekyaian Pesantren itu sendiri.

Kami sangat setuju dengan pendapat Menteri Agama bahwa pola pendidikan keagamaan Pesantren, bukan silabinya, saat ini harus mau belajar dari Muahamadiyah dan yang lain yang sudah sukses membangun menejemen pendidikan yang dapat memluluskan sarjana yang berkualitas dan diakui masyarakat dalam ilmu-ilmu praktis. Kami sebagai warga Pesantren/NU yang lahir dan besar dalam keluarga NU belum bisa merasa bangga menjadi anggota NU sekalipun kami sangat bangga dengan NU, karena kami belum menemukan kemampuan orang-orang NU dalam membangun pendidikannya tingkat MI sekalipun apalagi universitas. Karena itulah, kami adalah pesantren/NU dalam beragama tapi Muhammadiyah dalam “madzhab” pendidikan dan pemikiran sosial dan pengembangan ekonomi masyarakat.

Untuk itulah kalau Pesantren yang modern atau semi modern jika ingin maju dan bermutu kita masih perlu belajar dari lembaga-lembaga lain yang telah terbukti kualitasnya karena kesuksesan menejemennya. Sementara yang salaf pertahankan kesalafannya karena sekarang sudah mulai ada kesetaraan ijazah pesantren dengan ijazah negeri seperti Pesantren Lirboyo dan Sidogiri. Kalau begitu kenapa mesti kita berganti baju?

Pesantren di Masa yang Akan Datang

Berangkat dari kenyataan dari ribuan Pesantren yang ada seperti kami sampaikan di atas jelas pesantren di masa yang akan datang dituntut berbenah, menata diri dalam mengahadapi persaingan bisnis pendidikan seperti yang telah dilakukan oleh Muhammadiyah dan lainnya. Tapi perubahan dan pembenahan yang kami maksud hanya sebatas menejemen bukan corak apalagi berganti baju dari salafiyah ke mu’asyir (moderen) karena hal itu hanya akan menghancurkan nilai-nilai positif Pesantren seperti yang terjadi sekarang ini, lulusannya ora iso ngaji karena ngajinya setelah belajar PPKN. Berbeda kalau dibalik. Sehingga jangan heran kalau sekarang ketua dan pengurus NU tidak bisa paham kitab gundul.

Memenuhi kesetaraan ijazah atau membekali santri dengan ijazah negeri sangat diperlukan di masa yang akan datang tapi prakteknya tidak boleh kebablasan dengan memformalkan sekolah umumnya dan meninggalkan pendidikan formal pesantrennya. Dapat kita hitung dari sekian ribu Pesantren hanya berapa saja yang memiliki sekolah formal Pesantren dari Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah Pesantren sampai perguruan Tinggi, sangat sedikit sekali. Format seperti itu jelas akan menghilangkan hakekat dan nilai Pesantren yang telah dirintis dan bangun serta dilestarikan oleh para pendahulu kita.

Maka, idealnya pesantren ke depan harus bisa mengimbangi tuntutan zaman dengan mempertahankan tradisi dan nilai-nilai kesalafannya. Pertahankan pendidikan formal Pesantren khusus kitab kuning dari Ibtidaiyah sampai Aliyah sebagai KBM wajib santri dan mengimbanginya dengan pengajian tambahan, kegiatan extra seperti kursus computer, bahasa inggris, skill lainnya dan program paket A, B dan C untuk mendapatkan Ijazah formalnya atau dengan menjalin kerjasama dengan sekolah lain untuk mengikuti persamaan. Jika hal ini terjadi akan lahirlah ustad-ustad, ulama dan fuqoho yang mumpuni, bukan ustad televisi, tanpa harus mengikuti belajar ke luar negeri dan dalam negeri.

Ke depan pesantren tidak cukup dikendalikan dengan menejemen keikhlasan seorang Kyai seperti yang terjadi pada ulama dan Kyai tempo dulu. Kalau dulu hal itu memungkinkan karena keikhlasan itu telah mampu melahirkan energi ruhiah secara instan berupa kepahaman santri (laduni), manfaatnya ilmu, karomah dan sebagainya. Tapi sekarang telah berubah keadaan banyak sisi dan persoalan yang harus dimenej dengan profesional mulai dari uang SPP, bangunan, gaji, catering santri dan lain sebagainya. Dan hal yang seperti ini kurang diperhatikan oleh banyak Pesantren padahal itu modal utama pengembangan ekonomi Pesantren itulah yang kita lihat di Pesantren Sidogiri, akhirnya banyak pesantren hidupnya mengandalakn proposal.

Akhirnya kemauan untuk berubah, menata dengan belajar dari kesuksesan yang lain, tidak ekseklusif, dan memenuhi kebutuhan masyarakat dengan tetap mempertahankan tradisi salaf dengan berbagai aspeknya lahir dan batin adalah tuntutan yang harus dipenuhi oleh Pesantren jika tidak ingin ditinggalkan masyarakat karena dikatakan tertinggal. Dan kemampuan pesantren untuk berdiri sendiri dan mencetak santrinya menjadi ulama, fuqoha dan ustad yang siap terjun dimasyarakat adalah bukti keberhasilan pesantren itu bukan dengan diterimanya santri kuliah di luar negeri dan dalam negeri dan mengandalkan bantuan pihak lain. Wallahu a’lam.

* Mahasiswa Maroko, alumni Pesantren Lirboyo dan guru di Pesantren Al hikmah 2 Benda Sirampog Brebes

Problematika Pesantren Salaf Masa Kini

Sangat bisa diterima sinyalemen bahwa pesantren adalah lembaga tertua di Nusantara, tapi masih sangat relevan untuk dipertahankan eksistensinya. Tetapi, situasi yang terus berkembang, maka tidak bisa tidak pesantren perlu modifikasi agar terus bisa dilihat manfaatnya untuk umat.

Pada masa lampau, jelas sekali peran pesantren dalam membentuk budaya bangsa, sehingga para alumninya sangat dirasakan manfaatnya di lingkungannya masing-masing, baik di tingkat lokal, regional bahkan nasional dan internasional.

Ilmu yang ditimba para alumni pesantren dari almamater pesantrennya masing-masing sangat cukup untuk bekal hidup bermasyarakat dan berjuang. Ini tentu ditunjang lebih tekunnya santri tempo dulu dan berkah para gurunya yang keikhlasan dan kedalaman ilmunya sangat mumpuni.

Suatu hal yang menakjubkan, bahwa umat Islam Nusantara yang terjajah selama 3,5 abad dan selalu kalah dalam pertikaian politik serta kekuasaan, tapi masih bisa mengembangkan dakwah Islamiyah-nya sehingga sensus penduduk menjadi mayoritas muslim dan transaksi dalam kehidupan masyarakat, baik ekonomi atau nonekonomi, juga sangat dipengaruhi teori fikih Islami. Ini tidak lepas dari perjuangan pesantren yang bertebaran di pelosok Tanah Air.

Kelompok santri memang kalah dalam perebutan kekuasaan dan politik, tapi masih berjaya dalam budaya. Konon, disebutkan bahwa ketika kolonial datang di Nusantara, penduduk muslim masih 20 persen. Tetapi, justru ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, umat Islam meningkat menjadi 95 persen. Ironisnya justru ketika kita sudah merdeka, umat Islam menerima tekanan-tekanan dari budaya, ekonomi, juga politik, sehingga populasinya mengalami degradasi. Dari sinilah pesantren harus intropeksi diri sendiri agar misi pendidikan, sosial dan dakwahnya tetap eksis.

Problematika Kurikulum
Kurikulum pesantren salaf yang cenderung berkiblat ke model pendidikan ribath di Hadramaut ini bisa kita maklumi karena para dai pertama di Jawa memang berasal dari sana. Yang mencolok adalah penekanannya dalam bidang fikih yang sudah jadi dan tasawuf serta ilmu alat. Barangkali inilah yang memunculkan predikat pesantren salaf. Kemudian, predikat pesantren salaf didikotomikan dengan pesantren modern. Walaupun pada awalnya dikotomi itu juga rancu. Sebab, ada pesantren yang mengklaim dirinya modern dengan kurikulumnya yang berbeda dengan pesantren salaf, yaitu penekanan pada bahasa Arab/Inggris dan tidak mau fikih. Tetapi, (dulu) tidak mau memasukkan pendidikan formal (sekolah berafiliasi Departemen Pendidikan Nasional/Departemen Agama). Sementara, ada pesantren yang masih mangaku salafiyah, tapi malah sudah mendahului mengadopsi sekolah formal mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi, baik yang berafiliasi ke Depdiknas maupun Depag.

Untuk saat ini, pesantren modern itu bisa dilihat hasilnya dengan menempatkan banyak kader alumninya di panggung karier dan politik tingkat nasional. Hal ini mungkin ditunjang kemampuan komunikasinya yang berbahasa Arab dan Inggris tersebut, walaupun dari sisi ketangguhan dalam bidang fikih belum memadai dibanding alumni pesantren salaf. Ini bisa dilihat dari forum bahsul masail yang nampak didominasi ahumni pesantren salaf yang biasanya lebih lokal.

Bila mendikotomikan kurikulum salaf (bila dipahami sebagai kurikulum agama) dengan kurikulum umum, juga masih ada sisa pertanyaan di sana. Sebab, sebenarnya pelajaran agama itu hanyalah Al-Quran, hadits, akidah, syariah dan pendukungnya. Sementara, nahwu, shorof, balaghoh (sastra Arab), manthiq, 'arudl, falak dan lain-lain, bukan ilmu agama. Sebab, mata pelajaran seperti itu juga diajarkan di sekolah-sekolah umum di Timur Tengah. Tetapi, karena di sini ditulis Arab dan dengan bahasa Arab, maka dianggap pelajaran agama.

Dengan bekal pengetahuan umum yang ditulis Arab itulah barang kali para alumni pesantren salaf dulu sangat bisa berkiprah di lingkungannya. Tetapi, setelah Indonesia ini merdeka dan bahasa Indonesia yang ditulis dengan huruf latin menjadi bahasa resmi negara, ditambah bahasa asing selain bahasa Arab, terutama bahasa Inggris, sangat berpengaruh di lingkungan ilmiah di negara ini. Maka, mau tidak mau, kita rasakan bahwa itu sangat berdampak bagi menyempitnya ruang gerak kiprah alumni pesantren salaf di masyarakat. Apalagi setelah munculnya peraturan pemerintah dan undang-undang, khususnya Undang-undang Dosen dan Guru, sangat memukul bagi kiprah pengabdian alumni pesantren salaf di bidang pendidikan formal.

Barangkali berangkat dari sinilah Depag harus menyiasati dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 untuk menolong kiprah para alumni pesantren salaf agar ruang gerak pengabdiannya di masyarakat lebih leluasa. Intinya, diupayakan agar bagaimana alumni pesantren salaf itu memperoleh penyetaraan dengan sekolah formal dalam dampak masyarakat sipil. Untuk itu, memang diperlukan standar kurikulum nasional di pesantren salaf ditambah beberapa mata pelajaran yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat di negeri ini.

Problematika Kualitas dan Kuantitas Pesantren Salaf
Hal yang sangat memprihatinkan di kalangan pesantren salaf adalah degradasi kualitas pendidikannya. Sebab, kualitas ilmu kiai dan para ustaznya juga banyak yang menurun. Belum sisi lain yang lebih kita kenal sebagai "berkah", juga sangat berkurang karena kadar kualitas keikhlasan kiai dan para ustadznya juga merosot. Apalagi bila pesantren salaf itu berganti ‘kelamin’ menjadi pesantren formal. Secara umum, jelas sekali degradasi kualitas kemampuan kitab kuningnya, bahkan juga sampai ke budaya para santri yang masih menetap di pesantren itu juga ikut berubah.

Inilah tantangan berat bagi pengasuh pesantren salaf, khususnya yang sudah mengalami regenerasi. Turunnya kualitas kiai dan para ustaz akhirnya juga berdampak merosotnya kuantitas santri. Seringkali ada kebijakan jalan pintas untuk mempertahankan eksistensi pesantren tersebut, dengan berganti ‘kelamin’ tadi (dari pesantren salaf ke pesantren formal).

Tetapi, sekarang secara umum sangat dirasakan kemerosotan kuantitas pesantren salaf, juga pesantren formal di mana-mana. Ada yang mencoba melaksanakan penelitian dalam kasus ini. Akhirnya menyimpulkan beberapa penyebab, di antaranya, sebagai berikut:

1. Banyaknya alumni pesantren yang mendirikan pesantren sendiri-sendiri;
2. Tekanan ekonomi bagi kalangan masyarakat menengah ke bawah. Sementara, animo pesantren yang banyak dari kalangan tersebut;
3. Lembaga pesantren dulu dinilai sebagai lembaga pendidikan termurah. Tetapi, setelah adanya dana Biaya Operasional Sekolah bagi lembaga pendidikan formal, maka pesantren terkesan lebih mahal;
4. Bagi pesantren yang sudah mengalami regenerasi, umumnya kualitas pengasuhnya mengalami kemunduran, baik dari sisi keilmuan maupun keikhlasan;
5. Banyak alumni pesantren masa kini yang kurang kuat terhadap godaan duniawi, sehingga kurang bisa mencerminkan akhlak yang baik yang merupakan target utama produk pesantren;
6. Keterlibatan para kiai dalam panggung politik praktis yang sering kali menimbulkan kesimpulan berbeda dari hasil ijtihad siyasiy mereka. Sehingga menyebabkan sebagian umat ada yang berburuk sangka dan tidak simpati lagi;
7. Dan, memang barang kali sudah menjadi suratan Ilahi sebagaimana yang disabdakan Rasulullah bahwa agama ini “asing” dan akan kembali “asing”.

Penulis adalah Wakil Katib Aam Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

Nikah Muda Menurut Kacamata Fiqih Islam

Di antara keistimewaan Islam adalah fleksibelitas, universalitas, rasional, sesuai tempat dan zaman serta mudah diterima khalayak, baik yang berkaitan masalah ibadah, akhlak, muamalat, maupun berkaitan hukum (aturan) perkawinan. Isu nikah muda sering menjadi polemik dan kontroversi dalam masyarakat dikarenakan masih adanya asumsi bahwa hal itu dianjurkan agama, didorong serta dicontohkan Nabi Muhamad. Tepatkah asumsi tersebut?

Tulisan singkat ini dimaksudkan tak lain sekedar memberikan kontribusi tentang isu kawin muda (nikah di bawah umur) dalam pandangan agama, dalam kaitan ini fikih Islam. Harapan semoga ajaran Islam yang sudah sangat indah, mudah, memiliki norma-norma kemanusiaan dan terhormat ini tidak diselewengkan dan diterapkan hanya untuk kepentingan pribadi tanpa mengindahkan norma-norma kemanusiaan serta etika-etika umum masyarakat lainnya.

Usia Perkawinan
Istilah dan batasan nikah muda (nikah di bawah umur) dalam kalangan pakar hukum Islam sebenarnya masih simpang-siur yang pada akhirnya menghasilkan pendapat yang berbeda. Maksud nikah muda menurut pendapat mayoritas, yaitu, orang yang belum mencapai baligh bagi pria dan belum mencapai menstruasi (haid) bagi perempuan.

Syariat Islam tidak membatasi usia tertentu untuk menikah. Namun, secara implisit, syariat menghendaki orang yang hendak menikah adalah benar-benar orang yang sudah siap mental, pisik dan psikis, dewasa dan paham arti sebuah pernikahan yang merupakan bagian dari ibadah, persis seperti harus pahamnya apa itu salat bagi orang yang melakukan ibadah salat, haji bagi yang berhaji, transaksi dagang bagi pebisnis.

Tidak ditetapkannya usia tertentu dalam masalah usia sebenarnya memberikan kebebasan bagi umat untuk menyesuaikan masalah tersebut tergantung situasi, kepentingan, kondisi pribadi keluarga dan atau kebiasaan masyarakat setempat, yang jelas kematangan jasmani dan rohani kedua belah pihak menjadi prioritas dalam agama.

Dorongan adanya kesetaraan
Dalam fikih, ada yang disebut kafa’ah (baca kesetaraan). Kafa’ah di sini bukan berarti agama Islam mengakui adanya perbedaan (kasta) dalam masyarakat. Kafa’ah bukan pula suatu keharusan dan sama sekali bukan menjadi syarat dalam akad ikatan perkawinan, namun pertimbangan kafa’ah hanya sebagai anjuran dan dorongan agar perkawinan berjalan dengan keserasian dan saling pengertian antara kedua belah pihak dus demi langgengnya bahtera rumah tangga. Di antaranya, kesetaraan dalam hal ketakwaan, sebaiknya orang yang sangat takwa dan sangat rajin menjalankan ibadah agama, tidak dianjurkan bahkan tidak dibolehkan untuk dinikahkan dengan seorang yang rusak agamanya (sama sekali tidak memikirkan agama).

Juga seorang perempuan intelektual tidak dianjurkan dan tidak cocok nikah dengan suami yang bodoh. Juga masalah umur, tidaklah setara (imbang) antara laki-laki yang berumur 50 tahun dengan gadis berusia 13 tahun (apalagi lebih muda dari umur itu). Ketidaksetaraan seperti ini serta perbedaan yang mencolok antara kedua belah pihak tidak didukung syariat karena dikhawatirkan akan kuatnya timbul benturan-benturan antara kedua belah pihak dikarenakan perbedaan yang sangat mencolok tersebut.

Sedangkan kesetaraan dan persamaan dalam masalah keturunan, ras, kaya-miskin tidaklah menjadi masalah dalam Islam, karena Islam tidak memandang keturunan, suku bangsa serta miskin dan kaya. Miskin bukan merupakan cela (keaiban) dalam pandangan agama, yang cela hanyalah kekayaan yang didapat dari usaha ilegal dan kemiskinan akibat kemalasan.

Perkawinan Rasul dengan Sayidah Aisyah
Ada yang berdalih bahwa kawin muda merupakan tuntunan Nabi yang patut ditiru. Pendapat ini sama sekali tidak benar karena Nabi tidak permah mendorong dan menganjurkan untuk melakukan pernikahan di bawah umur. Akad pernikahan antara Rasul dengan Sayidah Aisyah yang kala itu baru berusia sekitar 10 tahun tidak bisa dijadikan sandaran dan dasar pegangan usia perkawinan dengan alasan sebagai berikut: Pertama: perkawinan itu merupakan perintah Allah sebagaimana sabda Rasul, ”Saya diperlihatkan wajahmu (Sayidah Aisyah) dalam mimpi sebanyak dua kali, Malaikat membawamu dengan kain sutera nan indah dan mengatakan bahwa ini adalah istrimu”. (HR Bukhari dan Muslim); Kedua: Rasul sendiri sebenarnya tidak berniat berumah tangga kalaulah bukan karena desakan para sahabat lain yang diwakili Sayidah Khawlah binti Hakim yang masih merupakan kerabat Rasul, di mana mereka melihat betapa Rasul setelah wafatnya Sayidah Khadijah, istri tercintanya sangat membutuhkan pendamping dalam mengemban dakwah Islam; Ketiga: Perkawinan Rasul dengan Sayidah Aisyah mempunyai hikmah penting dalam dakwah dan pengembangan ajaran Islam dan hukum-hukunya dalam berbagai aspek kehidupan khususnya yang berkaitan dengan masalah keperempuanan yang banyak para kaum perempuan bertanya kepada Nabi melalui Sayidah Aisyah.

Dikarenakan kecakapan dan kecerdasan Sayidah Aisyah sehingga ia menjadi gudang dan sumber ilmu pengetahuan sepanjang zaman; Kelima: masyarakat Islam (Hejaz) saat itu sudah terbiasa dengan masalah nikah muda dan sudah biasa menerima hal tersebut. Walaupun terdapat nikah muda, namun secara fisik maupun psikis telah siap sehingga tidak timbul adanya asumsi buruk dan negatif dalam masyarakat. Kita tidak memperpanjang masalah perkawinan ideal dan indah antara Rasul dengan Sayidah Aisyah, jadikanlah itu sebagai suatu pengecualian (kekhususan) yang mempunyai hikmah penting dalam sejarah agama.

Islam dalam prinsipnya tidak melarang secara terang-terangan tentang pernikahan muda usia, namun Islam juga tak pernah mendorong atau mendukung perkawinan usia muda (di bawah umur) tersebut, apa lagi dilaksanakan dengan tidak sama sekali mengindahkan dimensi-dimensi mental, hak-hak anak, psikis dan pisik terutama pihak perempuannya, dan juga kebiasaan dalam masyarakat, dengan dalih bahwa Islam sendiri tidak melarang.

Agama sebaiknya tidak dipandang dengan kasatmata, namun lebih jauh lagi agama menekankan maksud dan inti dari setiap ajarannya dan tuntunannya, dalam masalah perkawinan ini, Islam mendorong hal-hal agar lebih menjamin kepada suksesnya sebuah perkawinan. Yang diminta adalah kematangan kedua pihak dalam menempuh kehidupan berkeluarga sehingga tercipta hubungan saling memberi dan menerima, berbagi rasa, saling curhat dan menasihati antara suami-istri dalam mangarungi bahtera rumah tangga dan meningkatkan ketakwaan.

Usia perkawinan menurut Undang-Undang
Bab II pasal 7 ayat satu menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Juga tentang Usia Perkawinan Dalam Bab IV Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 15 menyebutkan bahwa demi untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya beleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang (UU) Nomor 1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.

Dalam UU perkawinan di sejumlah negara Arab hampir sama dengan UU Indonesia Seperti di Suriah, yang menjelaskan batas usia pernikahan untuk pria adalah jika telah mencapai 18 tahun dan untuk perempuannya jika sudah berusia 16 tahun (UU Perkawinan Suriah, pasal 16).

Menurut hemat penulis apa yang telah dibuat UU hendaknya mendapat dukungan dari semua pihak, khususnya para dai serta hendaknya dapat menjadi contoh baik dengan mengedepankan hal-hal yang telah menjadi standar dalam syariat dan bukan mencari hal-hal kontroversi yang menjadikan orang-orang menjadi bertanya-tanya bahkan yang lebih parah lagi meragukan kebenaran syariat. Pepatah (kata mutiara) Arab mengatakan “Semoga kerahmatan senantiasa tercurahkan bagi orang berusaha menghindarkan dirinya dari hal-hal yang menjadi cemoohan dalam masyarakat.” Penulis sama sekali tidak mengklaim batal atau tidak sahnya perkawinan usia muda, melainkian hanya menekankankan bahwa Islam tidak mendorong hal tersebut dengan berbagai alasan yang telah dikemukakan di atas.

Penulis adalah Pengurus Cabang Istimewa NU Damaskus, Suriah

Pesantren Dan Wajah Islam Indonesia

Lembaga pendidikan Pondok Pesantren salah satu dari sekian sistem pendidikan yang ada di Indonesia dengan cirinya yang has dan unik, juga dianggap sebagai sistem pendididkan paling tua di Indonesia yang telah diakui kualitasnya dari segi kemampuannya dalam mencetak kader-kader bangsa yang handal dan mumpuni, baik dalam bidang agama sebagaimana lazimnya atau dalam pentas kepemimpinan nasional, juga dalam bidang kebudayaan dan kazanah intelektual.

Menilik asal muasal keberadaan pesantren di Indonesia, sebagian kalangan ahli mengasumsikan bahwa pesantren adalah pola pendidikan Islam yang di adopsi dari pola pendidikan jaman sebelum kedatangan Islam yang di kenal dengan istilah cantrik yang kemudian diIslamisasi oleh para dai'-dai' Islam di awal kedatangannya.

Menurut pandangan penulis asumsi tersebut tidaklah sepenuhnya benar. Hal tersebut bila bisa di telusuri lewat komparasi kedua sistem tersebut dimana materi pengajaran dalam cantrik lebih mengedepankan pola pelatihan fisik yang dalam istilah kunanya dinamakan ilmu kanuragan, Sedangkan materi yang diajarkan dalam pesantren pada umumnya lebih bersifat ilmu pengetahuan keagamaan. Komparasi ini memberi gambaran yang tegas adanya perbedaan yang mencolok antara pola pendidikan cantrik dan pola pendididkan pesantren.

Bukti lainnya, dalam dunia Islam, kita bisa menjumpai sistem pendidikan pesantren di berbagai negara Islam sebagaimana di negeri kita; seperti di Yaman dengan Darul Mustofanya, atau di Saudi Arabia dengan Rubatnya ataupun di negeri Syria tempat penulis menimba ilmu yang bertaburan ma'had-ma'had syar'i, juga di negara-negara Islam lainnya. Hal tersebut memupuskan asumsi bahwa pesantren adalah budaya tradisional Indonesia yang mengalami Islamisasi, disisi lain juga membuktikan bahwa pesantren merupakan bagaian dari budaya Islam yang telah mengalami pribumisasi ketika masuk ke Indonesia.

Setelah penelusuran awal timbul pertanyaan; bernarkah pola pendidikan pesantren merupakan bagian dari budaya Islam?

Pengembangan wacana pesantren sebagai bagian dari budaya Islam akan bisa mencapai titik terang bila kita ambil pola-pola dasar pendidikan pesantren. Sebagaimana sudah diadakan penelitian pola dasar pesantren terdiri dari tiga unsur utama yaitu; kiai, santri dan masjid. Ketiga pola dasar tersebut -kalau kita mengupas kembali sejarah penyeberan Islam pertama kali di tanah Arab- adalah metode dakwah marhalah kedua Nabi Muhammad Saw di kota Madinah. Hal tesebut bisa di baca dari aktivitas dakwah beliau dengan memakai masjid sebagai pusat semua aktivitas baik dari segi ubudiyah seperti shalat berjamaah bersama-sama para sahabatnya atau tempat penyampaian kuliyah umum (khotbah Jum'at) di setiap hari Jum'at serta aktivitas-aktivitas lainya yang hampir keseluruhan berada di masjid. Jadi dapat dibuktikan bahwa sistem pendidikan pesantren adalah bagian dari kebudayaan Islam dan keberadaannya sudah ada semenjak pertama kali Islam diturunkan.

Untuk menelusuri lebih dalam tentang fenomena pola pesantren sebagai bagian dari budaya Islam bisa dikaji lewat sejarah peradaban Islam, dimana hampir semua sistem pendidikan di dunia Islam adalah bercorak pesantren, ini dapat ditilik dari metode Imam Malik (179 H) pendiri madzhab Malikiyah dalam membangun madzhabnya di Kota Madinah Munawwaroh, dengan memakai metode pesantren beliau kembangkan madzhabnya di Madinah, begitu pula madrasah an Nidhamiyah di Nisaibur yang dianggap sebagai cikal bakal sistem pendidikan madrasi di dunia Islam, pola pendidikan yang dipakai adalah pola pesantren, hal itu bisa kaji dari sosok al Juwaini (478 H) sebagai seorang pengasuh atau kiai dan salah satu santri hasil didikannya al Ghozali (520 H).

Begitu pula di negeri Syam as Syarif (Syria) di abad pertengahan hijriyah kita mengenal madrasah Darul Hadist yang telah berhasil mencetak ulama-ulama agung di zamannya, dimana keagungannya tersebut masih bisa disaksikan lewat kebesaran sosok an Nawawi (676 H) salah satu ulama hasil cetakan lembaga pendidikan ini, dengan maha karya-karyanya yang masih relevan dan eksis sebagai referensi utama dalam kazanah keilmuan Islam. Setelah penulis lihat sendiri tradisi-tradisi pengajian kitab kuning yang masih eksis hingga saat ini di sudut-sudut masjid kota Damaskus dan menyaksikan bangunan peninggalan madrasah Darul Hadist juga berziarah ke ma'had-ma'had syar'i yang ada sekarang, bahwasanya pola pendidikan pesantren begitu kental dan mengakar kuat dalam sistem pendidikan Islam di negeri Syam dari dulu hingga sekarang.

Menyingkap dunia pesantren dan menatap wajah Islam di Indonesian ibarat menatap salah satu sisi mata uang logam atau dalam kiasan lain dikatakan setali tiga uang, hal tersebut didasarkan pada kontek peranan dunia pesantren dalam membangun wajah Islam di Indonesia yangt tidak bisa diabaikan begitu saja peranannya, kerena basis utama pengembangan Islam di Indonesia adalah pondok pesantren.

Dalam penyebaran Islam pertama kali di tanah air Indonesia kita mengenal pesantren Ampel Denta yang dianggap sebagai pesantren pertama di Indonesia yang terletak di sudut kota Surabaya dengan pengasuh sekaligus pendirinya Raden Rahmat yang bergelar Sunan Ampel, salah satu para dai Islam pertama kali di Indonesia. Melalui media pesantren Ampel Dentanya beliau berhasil mencetak dai-dai generasi selanjutnya seperti Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat dan dari murid-murid para da'i-da'i Islam pertama ini terpancarlah cahaya Islam di nusantara.

Dimasa selanjutnya muncul sosok kiai karismatik Jawa yang masyhur di daerah Tegal Sari, Jetis, Ponorogo Jawa Timur; Kiai Hasan Besari begitu panggilan kebesarannya. Diatas sepetak tanah yang ia miliki dirikan masjid dan barak-barak yang di peruntukkan bagi santri jauh untuk penginapan. Dengan ketinggian ilmunya dibarengi dengan keihlasan dalam menyebarkan ajaran-ajaran Islam, ia berhasil mencetak kader-kader ulama yang mumpuni dalam meneruskan penyebaran agama Islam sehingga Islam tidak pernah pudar dari bumi Indonesia bahkan semakin mengakar kokoh di sanubari bangsa Indonesia walaupun dalam masanya para penjajah sudah menancapkan kukunya di tanah Jawa.

Setelah terjadi persentuhan intelektual antara ulama di Indonesia dengan para ulama Timur Tengah di penghujung kurun abad 20, pesantren sebagi basic intelektual Islam di Indonesia semakin nyata-nyata memainkan peranan dalam membentuk wajah Islam di Indonesia. Sosok-sosok seperti Syeikh Nawawi Banten, Syeikh Mahfudz Turmusi, Mbah Kholil Bangkalan, KH Hasyim Asy'ari, dan ulama-ulama lainnya adalah tokoh-tokoh penghujung abad 20 dari kalangan pesantren yang telah memoles wajah Islam di Indonesia dan dipenghujung abad 20 ini juga babak intelektual Islam Indonesia dimulai.

Menyibak differensiasi wajah Islam di Indonesia dalam tataran dunia global, peran pesantren begitu besar dalam memoles Islam Indonesia yang bersifat kaffah (universal), ramah, santun, yang sesuai dengan karakter asli bangsa Indonesia. Juga seirama dengan prinsip dasar Islam yang "Rahmatan lil alamin." Dengan semangat tawazun, tasamuh dan tawasuth, perbedaan-perbedaan pemahaman baik dalam pemahaman aqidah maupun diskursus yurisprudensi Islam (fiqih) dapat dilihat sebagai perbedaan yang bersifat rahmah. Differensiasi karakteristik tersebut akan tampak, bila kita melihat fenomena yang sedang terjadi di Timur Tengah, tidak jarang perbedaan-perbedaan (ihktilaf) pemahaman yang menimbulkan pertumpahan darah, seperti konflik Sunni Syiah di Iraq sekarang ini, atau kasus majlis-takfir di Mesir yang banyak menelan korban cendekiawan-cendekiawan Mesir.
Sebagai penutup dari tulisan ini, tidak lah berlebihan jika para pemerhati Islam di barat memprediksikan bahwa kebangkitan Islam akan dimulai dari Indonesia. Kita semua berharap prediksi tersebut menjadi kenyataan.

Penulis adalah Katib Syuriah PCI NU Syria dan Tamatan Fak. Syariah Univesitas Damaskus Syria.

Pesantren Dan Wajah Islam Indonesia

Lembaga pendidikan Pondok Pesantren salah satu dari sekian sistem pendidikan yang ada di Indonesia dengan cirinya yang has dan unik, juga dianggap sebagai sistem pendididkan paling tua di Indonesia yang telah diakui kualitasnya dari segi kemampuannya dalam mencetak kader-kader bangsa yang handal dan mumpuni, baik dalam bidang agama sebagaimana lazimnya atau dalam pentas kepemimpinan nasional, juga dalam bidang kebudayaan dan kazanah intelektual.

Menilik asal muasal keberadaan pesantren di Indonesia, sebagian kalangan ahli mengasumsikan bahwa pesantren adalah pola pendidikan Islam yang di adopsi dari pola pendidikan jaman sebelum kedatangan Islam yang di kenal dengan istilah cantrik yang kemudian diIslamisasi oleh para dai'-dai' Islam di awal kedatangannya.

Menurut pandangan penulis asumsi tersebut tidaklah sepenuhnya benar. Hal tersebut bila bisa di telusuri lewat komparasi kedua sistem tersebut dimana materi pengajaran dalam cantrik lebih mengedepankan pola pelatihan fisik yang dalam istilah kunanya dinamakan ilmu kanuragan, Sedangkan materi yang diajarkan dalam pesantren pada umumnya lebih bersifat ilmu pengetahuan keagamaan. Komparasi ini memberi gambaran yang tegas adanya perbedaan yang mencolok antara pola pendidikan cantrik dan pola pendididkan pesantren.

Bukti lainnya, dalam dunia Islam, kita bisa menjumpai sistem pendidikan pesantren di berbagai negara Islam sebagaimana di negeri kita; seperti di Yaman dengan Darul Mustofanya, atau di Saudi Arabia dengan Rubatnya ataupun di negeri Syria tempat penulis menimba ilmu yang bertaburan ma'had-ma'had syar'i, juga di negara-negara Islam lainnya. Hal tersebut memupuskan asumsi bahwa pesantren adalah budaya tradisional Indonesia yang mengalami Islamisasi, disisi lain juga membuktikan bahwa pesantren merupakan bagaian dari budaya Islam yang telah mengalami pribumisasi ketika masuk ke Indonesia.

Setelah penelusuran awal timbul pertanyaan; bernarkah pola pendidikan pesantren merupakan bagian dari budaya Islam?

Pengembangan wacana pesantren sebagai bagian dari budaya Islam akan bisa mencapai titik terang bila kita ambil pola-pola dasar pendidikan pesantren. Sebagaimana sudah diadakan penelitian pola dasar pesantren terdiri dari tiga unsur utama yaitu; kiai, santri dan masjid. Ketiga pola dasar tersebut -kalau kita mengupas kembali sejarah penyeberan Islam pertama kali di tanah Arab- adalah metode dakwah marhalah kedua Nabi Muhammad Saw di kota Madinah. Hal tesebut bisa di baca dari aktivitas dakwah beliau dengan memakai masjid sebagai pusat semua aktivitas baik dari segi ubudiyah seperti shalat berjamaah bersama-sama para sahabatnya atau tempat penyampaian kuliyah umum (khotbah Jum'at) di setiap hari Jum'at serta aktivitas-aktivitas lainya yang hampir keseluruhan berada di masjid. Jadi dapat dibuktikan bahwa sistem pendidikan pesantren adalah bagian dari kebudayaan Islam dan keberadaannya sudah ada semenjak pertama kali Islam diturunkan.

Untuk menelusuri lebih dalam tentang fenomena pola pesantren sebagai bagian dari budaya Islam bisa dikaji lewat sejarah peradaban Islam, dimana hampir semua sistem pendidikan di dunia Islam adalah bercorak pesantren, ini dapat ditilik dari metode Imam Malik (179 H) pendiri madzhab Malikiyah dalam membangun madzhabnya di Kota Madinah Munawwaroh, dengan memakai metode pesantren beliau kembangkan madzhabnya di Madinah, begitu pula madrasah an Nidhamiyah di Nisaibur yang dianggap sebagai cikal bakal sistem pendidikan madrasi di dunia Islam, pola pendidikan yang dipakai adalah pola pesantren, hal itu bisa kaji dari sosok al Juwaini (478 H) sebagai seorang pengasuh atau kiai dan salah satu santri hasil didikannya al Ghozali (520 H).

Begitu pula di negeri Syam as Syarif (Syria) di abad pertengahan hijriyah kita mengenal madrasah Darul Hadist yang telah berhasil mencetak ulama-ulama agung di zamannya, dimana keagungannya tersebut masih bisa disaksikan lewat kebesaran sosok an Nawawi (676 H) salah satu ulama hasil cetakan lembaga pendidikan ini, dengan maha karya-karyanya yang masih relevan dan eksis sebagai referensi utama dalam kazanah keilmuan Islam. Setelah penulis lihat sendiri tradisi-tradisi pengajian kitab kuning yang masih eksis hingga saat ini di sudut-sudut masjid kota Damaskus dan menyaksikan bangunan peninggalan madrasah Darul Hadist juga berziarah ke ma'had-ma'had syar'i yang ada sekarang, bahwasanya pola pendidikan pesantren begitu kental dan mengakar kuat dalam sistem pendidikan Islam di negeri Syam dari dulu hingga sekarang.

Menyingkap dunia pesantren dan menatap wajah Islam di Indonesian ibarat menatap salah satu sisi mata uang logam atau dalam kiasan lain dikatakan setali tiga uang, hal tersebut didasarkan pada kontek peranan dunia pesantren dalam membangun wajah Islam di Indonesia yangt tidak bisa diabaikan begitu saja peranannya, kerena basis utama pengembangan Islam di Indonesia adalah pondok pesantren.

Dalam penyebaran Islam pertama kali di tanah air Indonesia kita mengenal pesantren Ampel Denta yang dianggap sebagai pesantren pertama di Indonesia yang terletak di sudut kota Surabaya dengan pengasuh sekaligus pendirinya Raden Rahmat yang bergelar Sunan Ampel, salah satu para dai Islam pertama kali di Indonesia. Melalui media pesantren Ampel Dentanya beliau berhasil mencetak dai-dai generasi selanjutnya seperti Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat dan dari murid-murid para da'i-da'i Islam pertama ini terpancarlah cahaya Islam di nusantara.

Dimasa selanjutnya muncul sosok kiai karismatik Jawa yang masyhur di daerah Tegal Sari, Jetis, Ponorogo Jawa Timur; Kiai Hasan Besari begitu panggilan kebesarannya. Diatas sepetak tanah yang ia miliki dirikan masjid dan barak-barak yang di peruntukkan bagi santri jauh untuk penginapan. Dengan ketinggian ilmunya dibarengi dengan keihlasan dalam menyebarkan ajaran-ajaran Islam, ia berhasil mencetak kader-kader ulama yang mumpuni dalam meneruskan penyebaran agama Islam sehingga Islam tidak pernah pudar dari bumi Indonesia bahkan semakin mengakar kokoh di sanubari bangsa Indonesia walaupun dalam masanya para penjajah sudah menancapkan kukunya di tanah Jawa.

Setelah terjadi persentuhan intelektual antara ulama di Indonesia dengan para ulama Timur Tengah di penghujung kurun abad 20, pesantren sebagi basic intelektual Islam di Indonesia semakin nyata-nyata memainkan peranan dalam membentuk wajah Islam di Indonesia. Sosok-sosok seperti Syeikh Nawawi Banten, Syeikh Mahfudz Turmusi, Mbah Kholil Bangkalan, KH Hasyim Asy'ari, dan ulama-ulama lainnya adalah tokoh-tokoh penghujung abad 20 dari kalangan pesantren yang telah memoles wajah Islam di Indonesia dan dipenghujung abad 20 ini juga babak intelektual Islam Indonesia dimulai.

Menyibak differensiasi wajah Islam di Indonesia dalam tataran dunia global, peran pesantren begitu besar dalam memoles Islam Indonesia yang bersifat kaffah (universal), ramah, santun, yang sesuai dengan karakter asli bangsa Indonesia. Juga seirama dengan prinsip dasar Islam yang "Rahmatan lil alamin." Dengan semangat tawazun, tasamuh dan tawasuth, perbedaan-perbedaan pemahaman baik dalam pemahaman aqidah maupun diskursus yurisprudensi Islam (fiqih) dapat dilihat sebagai perbedaan yang bersifat rahmah. Differensiasi karakteristik tersebut akan tampak, bila kita melihat fenomena yang sedang terjadi di Timur Tengah, tidak jarang perbedaan-perbedaan (ihktilaf) pemahaman yang menimbulkan pertumpahan darah, seperti konflik Sunni Syiah di Iraq sekarang ini, atau kasus majlis-takfir di Mesir yang banyak menelan korban cendekiawan-cendekiawan Mesir.
Sebagai penutup dari tulisan ini, tidak lah berlebihan jika para pemerhati Islam di barat memprediksikan bahwa kebangkitan Islam akan dimulai dari Indonesia. Kita semua berharap prediksi tersebut menjadi kenyataan.

Penulis adalah Katib Syuriah PCI NU Syria dan Tamatan Fak. Syariah Univesitas Damaskus Syria.

Arah Kiblat Dari Indonesia

Makkah 21o25’ LU 39o50’ BT menjadi kiblat bagi ahlul ardli termasuk Indonesia.

Arah kiblat dari Indonesia ke Makkah : ke barat laut dengan ukuran derajat bervariasi sesuai dengan letak tiap kawasan pada garis lintang dan garis bujur. Contoh :

Kawasan lintang utara :

1. Sabang 05o54’ LU 095o21’ BT : 21o56’08” AQ
2. Banda Aceh 05o35’ LU 095o20’ BT : 22o08’13” AQ
3. Medan 03o38’ LU 098o38’ BT : 22o44’46” AQ
4. Pekanbaru 00o36’ LU 101o14’ BT : 23o46’18” AQ
5. Sambas 01o18’ LU 109o18’ BT : 22o18’19” AQ
6. Tarakan 03o18’ LU 117o35’ BT : 21o12’59” AQ
7. Gorontalo 00o34’ LU 123o05’ BT : 21o29’37” AQ
8. Manado 01o33’ LU 124o53’ BT : 21o21’58” AQ



Kawasan katulistiwa :

Pontianak 00o00’ katulistiwa 109o22’ BT : 22o44’37” AQ



Kawasan lintang selatan :

1. Padang 00o57’ LS 100o21’ BT : 24o41’51” AQ
2. Jambi 01o36’ LS 103o38’ BT : 24o15’42” AQ
3. Palembang 02o59’ LS 104o47’ BT : 25o36’33” AQ
4. Bandar Lampung 05o25’ LS 105o17’ BT : 25o17’11” AQ
5. Serang 06o08’ LS 106o09’ BT : 25o18’03” AQ
6. Tangerang 06o12’ LS 106o38’ BT : 25o11’55” AQ
7. Jakarta 06o10’ LS 106o49’ BT : 25o08’31” AQ
8. Pelabuhanratu 07o01’ LS 106o03’ BT : 25o36’23” AQ
9. Bandung 06o57’ LS 107o34’ BT : 25o11’10” AQ
10. Yogyakarta 07o48’ LS 110o21’ BT : 24o42’46” AQ
11. Semarang 07o00’ LS 110o24’ BT : 24o30’17” AQ
12. Surabaya 07o15’ LS 112o45’ BT : 24o01’45” AQ
13. Palangkaraya 02o16’ LS 113o56’ BT : 22o43’23” AQ
14. Banjarmasin 03o22’ LS 114o40’ BT : 22o51’38” AQ
15. Samarinda 00o28’ LS 117o11’ BT : 21o59’21” AQ
16. Ujungpandang 05o08’ LS 119o27’ BT : 22o28’04” AQ
17. Kendari 03o57’ LS 122o35’ BT : 21o57’36” AQ
18. Denpasar 08o37’ LS 115o13’ BT : 23o44’32” AQ
19. Mataram 08o36’ LS 116o08’ BT : 23o32’22” AQ
20. Kupang 10o12’ LS 123o35’ BT : 22o10’57” AQ
21. Ambon 03o42’ LS 128o14’ BT : 21o28’23” AQ
22. Fakfak 03o52’ LS 132o20’ BT : 21o14’40” AQ
23. Jayapura 02o28’ LS 140o38’ BT : 22o09’12” AQ
24. Sorong 00o50’ LS 131o15’ BT : 21o24’10” AQ
25. Merauke 08o30’ LS 140o27’ BT : 20o09’06” AQ



Isu tentang adanya pergeseran arah qiblat dari sebagian besar masjid di Indonesia akibat gempa masih harus dibuktikan dengan penelitian yang seksama secara ilmiah melibatkan sejumlah ahli dari berbagai disiplin ilmu, termasuk ahli hisab-fiqh. Masjid-masjid yang arah qiblatnya tidak tepat pada umumnya disebabkan oleh kurang cermatnya dalam mengukur arah qiblat sejak awal mula memulai pembangunan masjid. Masjid-masjid yang sejak awal mula ketika memulai pembangunan sudah didasarkan pada pengukuran arah qiblat yang benar, ternyata hingga sekarang masih tetap standar.



Posisi Arah Barat Indonesia



A. Garis lintang 0o dari Pontianak ke barat melewati Kepri, Riau, Sumatera Barat, Samudra Hindia sampai ke Somalia selatan, tepatnya di utara kota Kismayu.



B. Semua daerah Indonesia yang berada di Lintang Utara dan beberapa daerah yang berada di Lintang Selatan bila ditarik garis ke barat akan bertemu dengan negara Somalia. Beberapa wilayah Indonesia tersebut yaitu :

Wilayah lintang utara :

1. Sabang
2. Banda Aceh
3. Medan
4. Pekanbaru
5. Sambas
6. Tarakan
7. Samarinda
8. Gorontalo
9. Manado

Wilayah lintang selatan :

1. Padang
2. Jambi
3. Palangkaraya
4. Sorong
5. Jayapura



C. Daerah Indonesia yang berada di Lintang Selatan bila ditarik garis ke barat ada dua kemungkinan, yaitu bertemu dengan negara Kenya dan negara Tanzania. Daerah-daerah yang bertemu dengan negara Kenya yaitu :

1. Palembang
2. Banjarmasin
3. Kendari
4. Ambon
5. Fakfak



Daerah-daerah yang bertemu dengan negara Tanzania :

1. Bandar Lampung
2. Serang
3. Tangerang
4. Jakarta
5. Pelabuhanratu
6. Bandung
7. Yogyakarta
8. Semarang
9. Surabaya
10. Ujungpandang
11. Denpasar
12. Mataram
13. Kupang
14. Merauke


KH A. Ghazalie Masroeri
Ketua Lajnah Falakiyah PBNU